Posted by : Unknown 06/06/11


       Ringan dan santai. Begitu nada bicaranya. Seakan tak ada masalah di otak tumpulnya itu. Hingga
aku merasa bodoh telah apatis akan segala ucapannya.
       Namun kini, aku yang gila. Mulai tertawa penuh kekalahan dalam sisi gelapnya.
       Jadi, dia datang di hidupku seperti rangkaian cerita. Sebuah cerita bersambung, namun dengan
beratus-ribu serial. Terputar di proyektor otak yang sebelumnya terekam di memoriku. Aku ingin sekali
menghapusnya ketika aku tahu dia egois. Dia hanya menyematkan kata-kata yang tidak pernah
membawa ketenangan dalam hidupku.
       Aku kembali menghela nafas. Kantukku tidak berkurang ketika aku mulai memikirkannya lagi.
Bukannya aku menderita insomnia yang malam ini mengharuskanku untuk minum pil tidur, tetapi aku
masih mempunyai urusan yang tak nyata dengan dia. Hanya aku yang mengerti.
       Kemudian aku mengambil secarik kertas, berusaha untuk meredam kekalutanku dalam goresan
pena. Aku mulai menulis dalam satu rangkaian cerita yang tersusun dari beribu kalimat. Aku tidak
ingin lagi memutar cerita-cerita itu dalam kilasan gambar yang berkelebat sesaat di otakku, tentu
dengan seorang aktor ; dia. Tapi pada akhirnya, itu tak kunjung membuatku tenang. Karena kata-kata
monoton itu: Aku harus bagaimana? Apa boleh aku membenci dia?
       Kalimat-kalimat yang ku tulis itu berubah sarkastis.
       Ku benamkan wajahku di lipatan siku. Jendela terbuka lebar, angin malam yang dingin
berhembus menjalari ubun-ubunku. Aku ingin menangis, menampilkan guratan kesedihan dan
mempertontonkannya pada sang malam. Dia, masih menggerayangi setiap jengkal jaringan otakku.
Masih menaburi bibit-bibit ketergantungan untuk selalu memikirkan dia. Penaku terhenti, karena
banyaknya kata monoton. Aku ingin menulis lagi, tapi pikiranku tak memerintahkan tanganku untuk
bekerja. Entah kata dan kalimat apa lagi yang mampu menggambarkan `betapa aku membenci dia'.
Aku ingin marah, tetapi kemarahanku menguap. Apapun yang telah aku lakukan untuk dia, aku telah
lupa. Lebih tepatnya sengaja untuk melupakannya. Sudah tak ada lagi yang bisa aku katakan. Aku
terlanjur menetapkan kalau dia bersalah.
       Pikiranku mulai bekerja. Namun kali ini aku mendapat sebuah sisi baik yang pernah dia simpan
untuk kuingat. Dia mampu membimbingku saat aku butuh pertolongan, dia membuatku tertawa saat
aku kembali dengan kebiasaan anehku ; menertawai diriku sendiri. Dia pernah membuatku tersenyum
bahkan saat dalam keadaan terpuruk sekalipun. Terkadang aku ingin memberinya sebuah pujian kecil,
karena aku beruntung merasa pernah mengenal dia. Aku ingin dia tahu bahwa aku tidak ingin
membencinya, tapi dia yang menginginkan itu. Padahal aku tahu, dia tak pernah sungguh-sungguh
membenciku. Dia sangat menyayangiku.
       Ku angkat kepalaku perlahan. Rasanya menutup mata sebentar untuk menenangkan diri
membuatku menjadi sedikit lebih baik. Aku menatap nanar hamparan bintang yang terlihat dari jendela
kamarku yang terbuka. Aku yakin, dia pasti melihatnya, disini. Setelah aku berfikir panjang dan
mereka-reka apa yang pernah dia lakukan untukku, aku ingin meminta maaf karena aku pernah
membencinya. Aku tak ingin terikat dengan masa lalu. Karena aku hidup ditemani kenyataan di masa
sekarang dalam rentetan rencana untuk masa yang akan datang. Aku terpaku melihat pena ku. Kertas
yang penuh dengan coretan tentangnya. Kumpulan cerita kegusaran dalam file komputerku. Akhirnya
aku tersenyum dan berterima kasih.
       Seperti tantangan memasang puzzle, aku berhasil menyatukan semua pikiran yang terpecah.
       Untuk kau disana. Untuk yang tak pernah bisa hadir dalam sesuatu yang indah, dalam wujud yang
sempurna. Untuk yang selalu menghipnotisku dengan uraian abstrak wujudnya, temani aku selalu,
disini.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Notice

To get happiness you just need happy.

Popular Post

About

Follow me on

Instagram http://www.dreambingo.co.uk/promotions/
Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © BREATHAKING -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -